Menata Hati, Mengukir Nasib.


ads
Metafisika Modern

Sufi Yang Kaya Raya Itu Banyak Lho..

“Hanya orang bodoh dan orang gila yang tidak ingin kaya”

 Dalam suasana kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi dewasa ini, masalah hakikat manusia dan kehidupan semakin serius untuk dibahas. Masalah ini memang cukup penting, karena ia merupakan titik tolak dalam memberikan batasan menyangkut fungsi manusia dalam kehidupan ini. Dari hasil pembatasan itu, kemudian di susun prinsip-prinsip dasar meyangkut segala aspek kehidupan manusia yang multi dimensional, baik menyangkut tatanan politik, sistem ekonomi, sosial, budaya dan bahkan etika. Dalam arti lain bahwa bentuk dan sistem aspek-aspek kehidupan tersebut harus ditentukan oleh pengertian tentang “hakikat manusia itu sendiri”. Jika tidak demikian maka dapat dipastikan sistem-sistem itu akan segera runtuh dan gagal.

Manusia sebagai hamba Allah adalah satu-satunya makhluk yang paling istimewa di antara semua makhluk – Nya yang lain. Disamping dikaruniai akal dan fikiran, manusia ternyata adalah makhluk yang penuh “Misteri” dan rahasia-rahasia yang menarik untuk dikaji. Misteri itu justru sengaja dibuat Allah agar manusia memiliki rasa antusias yang tinggi untuk menguak dan mendalami keberadaan dirinya sebagai ciptaan Allah Swt; untuk kemudia mengenali siapa penciptanya.

Syaikh Ahmad Bin Ruslan Al -Syafi’i mengemukakan :
“Sesuatu yang paling awal diwajibkan atas manusia adalah “Ma’rifatulluh” mengenali Tuhannya dengan penuh keyakinan”.

Itulah sebabnya, ibadah seseorang baik ibadah wajib ataupun sunnah, tidak akan mungkin sah tanpa “ma’rifatullah”. Dibalik itu, tujuan hidup yang utama bagi seseorang yang berakal adalah bertemu dengan Allah (Liqaaillah) di hari pembalasan nanti.

Alloh SWT. berfirman “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat (mauidhoh) dari Tuhanmu dan penyembuh atau obat bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada, dan petunjuk serta rahmad bagi orang-orang yang beriman”. (Q.S.Yunus : 57)

Ayat ini dalam Tafsir Ruhul Ma’ani di interpretasikan sebagai jenjang-jenjang kesempurnaan pada jiwa manusia. Barang siapa yang berpegang teguh dengan Al Qur’an – sebagai mauidhah – secara utuh dan tidak parsial, maka ia akan memperoleh seluruh tingkatan kesempurnaan tersebut. Lebih jauh lagi, Imam Junaidi menafsirkan ayat tersebut sebagai landasan filosofis atas munculnya klasifikasi ‘syari’at, thariqaat dan ma’rifat’. Dari kalimat “Mau’idhah” yang mengandung nasihat-nasihat untuk meninggalkan segala yang dilarang dan menjalankan perintah-perintah Allah, maka lahirlah syari’at yang kemudian berisi pula anjuran-anjuran untuk membersihkan akhlak al madzmumah (perilaku/etika tidak baik) yang dapat dilihat orang.

Sedangkan lafadz “Syifaa’un lima fi al shudur” memuat segala bentuk usaha penyembuhan penyakit-penyakit rohani sehingga seorang manusia dapat mencapai strata kesempurnaan dalam pembersihan hatinya dari aqidah-aqidah yang sesat dan tabi’at-tabi’at yang hina dan tercela. Dan ini merupakan kerangka filosofis munculnya klasifikasi thariqat. Sementara kalimat “wahudan” mengisyaratkan kesempurnaan yang lebih tinggi lagi, yakni strata haqiqat yang hanya mungkin dicapai oleh manusia lewat hidayah yang diberikan oleh Allah. Adapun kalimat “Wa rahmatan lil ‘alamin” memberi dalil akan tercapainya kesempurnaan yang paling tinggi yaitu ma’rifat, bahwa seseorang telah meraih “Tajalla anwar al-uluhiyyah” atau terpancarnya cahaya ketuhanan yang abadi. Dengan cahaya ketuhanan inilah seseorang dapat memiliki pengaruh positif terhadap mu’min yang lainnya.

Berkenaan dengan hal tersebut, Abu Bakar Al Maliki berpendapat yang intinya, bahwa jalan menuju kebahagiaan akhirat adalah terpenuhinya tiga hal tersebut di atas yakni syari’at, thariqat, dan hakikat. Ketiga hal ini tidak boleh terlewatkan salah satunya, akan tetapi haruslah lengkap dan berurutan satu sama lain. Sebab Abu Bakar menggambarkan ketiga hal tersebut dengan ungkapan syairnya :

“Syari’at itu ibarat sebuah perahu, sedangkan thoriqat adalah lautan, sementara haqiqat adalah mutiara yang terendam di dasar lautan nan mahal harganya”

Adapun “Tasawuf” atau “Sufisme”, Imam Abu Bakar Al-anshori; mendefinisikan dengan ungkapannya yang sederhana yakni: “Suatu sikap memurnikan hati di hadapan Allah azza Wa jalla dengan memandang remeh atau rendah terhadap selain Allah”. Sehingga dengan definisi di atas dapatlah diambil pengertian, tasawuf adalah refleksi perasaan ketuhanan yang sangat tinggi, agung, dan suci terhadap segala pelaksanaan ketiga hal di atas.

Abad XXI sering dilukiskan sebagai suatu masa yang berperadaban tinggi, orang tak lagi membicarakan atau merisaukan hal-hal yang masih bersifat permulaan atau masih mentah. Kecenderungan-kecenderungan yang ada adalah dominasi sikap ingin serba praktis mengenakkan dan lebih mudah. Hal ini jelas tersiasati dari hasil-hasil teknologi mutakhir yang menyebabkan manusia menjadi manusia yang HEDONIS  “Serba manja”.

Bersamaan dengan itu, persaingan di dalam masalah-masalah sosial, budaya, politik terlebih lagi ekonomi juga muncul sebagai efek samping dari modernitas zaman. Gesekan-demi gesekan yang timbul dari berbagai kepentingan individu tanpa diimbangi dengan nilai-nilai spiritual, akan meninggalkan keresahan-keresahan tersendiri. Pola-pola perilaku dan sikap hidup serta pandangan yang individualistik akan menempatkan manusia pada titik-titik jenuh kehidupan komunitas kolektif, sehingga pada gilirannya manusia justru menjadi acuh tak acuh terhadap lingkungannya sendiri.

Titik-titik jenuh itulah yang kemudian membuat orang cenderung lari untuk mencari “dunia lain” yang lebih menjanjikan kedamaian dan ketenteraman, maka “agama” – pun agaknya menjadi alternatif paling tepat untuk mengobati keresahan tersebut, namun bukanlah berarti bahwa agama adalah konpensasi dari kejenuhan-kejenuhan modernitas zaman. Oleh karena itu, komponen-komponen ajaran sufisme seperti Dzikir, zuhud, kholwah dan uzlah ternyata dalam banyak kasus di belantara zaman modern ini, tetap saja tidak kehilangan relefansinya. Tentang dzikir misalnya, yang merupakan pintu gerbang Allah dan pembuka sekat kegaiban, penarik kebaikan-kebaikan dan pelipur keterasingan. Disamping itu dzikir tidak tergantung pada waktu dan tempat.
Allah SWT. berfirman : “(Yaitu) orang-orang yang berdzikir mengingat Allah sambil berdiri atau duduk berbaring serta mereka bertafakkur memikirkan kejadian langit dan bumi, (seraya berkata) Yaa Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.” (Qs. Ali Imran : 191)
Tentang faedah dzikir Allah Ta’alaa berfirman “Orang-orang yang beriman hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram” (QS. Ar-Ra’d : 28)

Zuhud oleh para ulama didefinisikan sebagai sikap meninggalkan ketergantungan hati kepada harta benda (materi), meskipun tidak anti pati terhadapnya. Seorang Zahid bisa saja mempunyai harta kekayaan yang berlimpah, tetapi kekayaan itu tidak kumanthil di dalam hati. Demikian juga “Uzlah” yang didefinisikan dengan “Al-Tafarrud ‘an al-Khalqi” (memisahkan diri dari mahluk lain), ketika zaman dilanda oleh pergeseran-pergeseran nilai-nilai agama Islam dan aturan-aturan normatifnya, juga ketika seseorang merasa khawatir terhadap fitnah yang akan menyebabkan kehidupan keagamaannya berkurang intensitasnya. Akan tetapi jika kekhawatiran tersebut tidak terlalu berlebihan, maka baik zuhud maupun uzlah dapatlah dilaksanakan sekedar dengan hati dan perasaan dengan tetap hidup bermasyarakat sebagaimana lazimnya, untuk ber-amar ma’ruf nahi mungkar.

Khalwat yang utama di sisi Para Masyaikh Naqshbandiyah adalah Khalwat Dalaman (bersendirian dalam keramaian. Maksudnya pada zahir, Salik bergaul dengan manusia dan pada batinnya dia kekal bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala) kerana mereka senantiasa berada bersama Tuhan mereka dan pada masa yang sama mereka berada bersama dengan manusia. Adalah dikatakan bahawa seseorang beriman yang dapat bercampur gaul dengan manusia dan menanggung berbagai masaalah dalam kehidupan adalah lebih baik dari orang beriman yang menghindarkan dirinya dari manusia.

“Sufisme” memandang dunia ini sebagai sebuah jembatan yang harus dilalui untuk menuju akherat “Al-Dunya mazra’atu al-Akherat” dengan tetap mempertinggi etos kerja untuk berikhtiyar mencari penghasilan bagi kehidupan sehari-harinya, sambil berserah diri, tawakkal kepada Allah Swt, sembari rajin melaksanakan sholat sunnah dan memperbanyak dzikir. Dalam hal ini, kaum sufi lebih memandang dunia laksana api, dimana mereka dapat memanfaatkan sebatas kebutuhan, sembari tetap waspada akan percikan yang suatu saat akan membakar hangus semuanya. Dalam hal ini mereka berkata : “Apabila harta benda dikumpulkan, maka haruslah untuk memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi, dan bukan untuk kepentingan pribadi secara berlebihan”.

Lebih jauh Syekh Abdul Qadir Jaelani berkata :
Semua harta benda (dunia) adalah batu ujian yang banyak membuat manusia gagal dan celaka, sehingga membuat mereka lupa terhadap Allah kecuali jika pengumpulannya dengan niat baik untuk akherat. Maka bila pentasyarufaannya telah memiliki tujuan yang baik, harta dunia itupun akan menjadi harta akherat”.

Sulthanul Aulia Ahli Silsilah ke-36 yang
mendapat gelar “Master Dunia Akhirat” mengatakan: 
“Hanya orang bodoh dan orang gila yang tidak ingin kaya”

Syahdan, ada seorang syaikh yang hidup sederhana. Dia makan sekedar kebutuhan untuk bertahan-hidup saja. Karena profesinya nelayan, pagi-pagi dia memancing ikan. Setelah mendapat banyak ikan, dia membelah ikan-ikan itu menjadi dua: batang tubuh ikan itu dibagi-bagikan kepada tetangganya, sementara kepalanya dia kumpulkan untuk dimasak sendiri. Karena terbiasa makan kepala ikan itulah sehingga ia diberi julukan syaikh kepala ikan. Dia seorang sufi yang memiliki banyak murid.

Salah seorang muridnya hendak pergi ke Mursia, sebuah daerah di Spanyol. Kebetulan syaikh kepala ikan ini mempunyai seorang guru sufi besar disana (Syaikh Al-Akbar). “Tolong kamu mampir ke kediaman guruku di Mursia, dan mintakan nasihat untukku,” pesan syaikh kepada muridnya. Si muridpun pergi untuk berdagang. Setibanya di Mursia, dia mencari-cari rumah Syaikh Al-Akbar itu. Dia membayangkan akan bertemu dengan seorang tua, sederhana, dan miskin. Tapi ternyata orang menunjukkannya pada sebuah rumah besar dan luas. Dia tidak percaya, mana ada seorang sufi besar tinggal di sebuah bangunan yang mewah dan mentereng, penuh dengan pelayan-pelayan dan sajian-sajian buah-buahan yang lezat. Dia terheran-heran: “Guru saya hidup dengan begitu sederhana, sementara orang ini sangat mewah. Bukankah dia gurunya guru saya?” Dia pun masuk dan menyatakan maksud kedatangannya. Dia menyampaikan salam gurunya dan memintakan nasihat untuknya. Syaikh pun bertutur, “Bilang sama dia, jangan terlalu memikirkan dunia.” Si murid tambah heran dan sedikit marah, tidak mengerti. Syaikh ini hidup sedemikian kaya, dimintai nasihat oleh orang miskin malah menyuruh jangan memikirkan dunia. Akhirnya dengan kesal ia pulang.

Saat gurunya mendengar nasihat yang diperoleh melalui muridnya dia hanya tersenyum dan sedikit sedih si murid mengernyitkan kening tambah tidak paham. Apa maksud nasihat itu? Guru itu menjawab “Syaikh Akbar itu benar. Menjalani hidup tasawuf itu bukan berarti harus hidup miskin. Yang penting hati kita tidak terikat oleh harta kekayaan yang kita miliki dan tetap terpaut dengan Allah SWT. Bila jadi orang miskin harta, tapi hatinya terus memikirkan dunia. Saya sendiri ketika makan kepala ikan, masih sering membayangkan bagaimana makannya daging ikan yang sebenarnya?”

Kisah ini menunjukkan dua hal: menjadi orang kaya itu tidak mesti jauh dari kehidupan sufi dan menjadi orang miskin tidak otomatis mendekatkan orang pada kehidupan sufistik. Syaikh Al-Akbar yang disebut diatas adalah Muhyiddin Ibn ‘Arabi, salah satu sufi besar dan cemerlang dalam sejarah perkembangan tasawuf.

Sulthanul Aulia Ahli Silsilah ke-36 yang mendapat gelar “Master Dunia Akhirat” mengatakan: “Hanya orang bodoh dan orang gila yang tidak ingin kaya”. Beliau selalu menganjurkan murid-muridnya agar selalu berusaha, jangan malu dalam mencari nafkah asalkan halal dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist serta aturan-aturan negara. Agar bisa berhasil harus mencoba sampai 7 jenis usaha, Beliau mengistilahkan 7 sumber mata air. Beliau berusaha mengubah pandangan keliru terhadap tasawuf, bertasawuf tidak identik dengan kemiskinan, tapi justru dengan bertasawuf mengubah orang bodoh menjadi pandai, orang miskin menjadi kaya namun hatinya tetap bisa terus berzikir memuja Allah SWT.

Syaikh Nasiruddin Ubaidullah Al Ahrary As Samarqandi bin Mahmud bin Sihabuddin QS Salah satu Wali Qutub yang amat kaya. Kekayaannya pernah menutup hutang-hutang kerajaan Samarqan, membantu kerajaan Mugol India keluar dari krisis keuangan. Setiap tahun berzakat 60.000 ton gandum.

Seorang sufi lain mengatakan, kehidupan tasawuf adalah membiarkan tanganmu sibuk mengurusi dunia dan membiarkan hatimu sibuk mengingat Allah SWT.

Iman Ghazali mengatakan, jiwa harus merawat tubuh sebagaimana orang mau naik haji harus merawat untanya. Tapi kalau ia sibuk dan menghabiskan waktunya untuk merawat unta itu, memberi makan dan menghiasinya, maka kafilah (rombongan) akan meninggalkan ia. Dan ia akan mati di gurun pasir. Artinya, kita bukan tidak boleh merawat yang bersifat fisik, tapi yang tidak boleh adalah kita tenggelam didalamnya. Imam Al-Ghazali bertanya ”apakah uang itu membuat mu gelisah? Orang yang terganggu oleh uang belumlah menjadi seorang sufi”. Jadi persoalannya bukan kita tidak boleh mempunyai uang. Justru, bagaimana kita mempunyai uang cukup, tapi pada saat yang sama hati kita tidak terganggu dengan harta yang kita miliki.

Menurut Ibn ‘Arabi, dunia ini adalah tempat kita diberi pelajaran dan harus menjalani ujian. Ambillah yang kurang dari pada yang lebih didalamnya. Puaslah apa yang kamu miliki, betapapun yang kamu miliki itu kurang dari pada yang lain. Tapi dunia itu tidak buruk. Sebaliknya, ia ladang bagi hari akhirat. Apa yang kamu tanam didunia ini, akan kamu panen di akhirat nanti. Dunia adalah jalan menuju kebahagiaan puncak, dan karena itu baik, layak di puji dan dielu-elukan untuk kehidupan akhirat. Yang buruk, lanjut ‘Arabi, adalah jika apa yang kamu perbuat untuk duniamu itu menyebabkan kamu buta terhadap kebenaran oleh nafsumu dan ambisi terhadap dunia.

Nabi Muhammad SAW. Suatu kali ditanya, apa arti keduniawian itu? Rasulullah menjawab, “Segala sesuatu yang menyebabkan kamu mengabaikan dan melupakan Tuhanmu”. Kegiatan-kegiatan duniawi tidaklah buruk pada dirinya sendiri, tapi keburukannya terletak pada yang membuat lupa kepada Allah SWT.

Disamping Ibn ‘Arabi, konon banyak sufi yang hidup makmur. Fariduddin Al-Atthar, yang terkenal mengarang Al-Manthiq Al-Thair (Musyawarah Burung-Burung) itu, di gelari dengan al-Atthar karena perkerjaannya menjual minyak wangi. Junaid Al-Baghdadi dikenal sebagai al-Qawariri, penjual barang pecah belah. Kemudian Al- Hallaj al-Khazzaz, pemintal kapas: dia mencari nafkah dengan memintal kapas. Adalagi Sari as-Saqati, penjual rempah-rempah. Dan banyak lagi yang lain. Ini hanya gambaran bahwa sufi tidak harus menjauhi dunia.

Abu Zaid mengatakan bahwa seorang sufi yang sempurna bukanlah zahid yang tenggelam dalam perenungan tauhid. Bukan seorang wali yang menolak muamalat dengan orang lain. Sufi sejati adalah mereka yang berkiprah di masyarakat. Makan dan tidur bersama mereka. Membeli dan menjual di pasar. Mereka punya peran sosial, tapi tetap ingat kepada Allah SWT. Dalam setiap saat. Inilah hakikat zuhud yang sebenarnya.

SOURCE ;
Facebook Note
EDDY SETIAWAN
ads
Labels: Tasawuf

Thanks for reading Sufi Yang Kaya Raya Itu Banyak Lho... Please share...!

0 Comment for "Sufi Yang Kaya Raya Itu Banyak Lho.."

Back To Top