Menata Hati, Mengukir Nasib.


ads
Metafisika Modern

Tashawwuf Bukan Tanpa Thariqah

Berikut kisah nyata seorang salik thariqah Kadisiyyah. Sebut saja namanya Fulan. Dia baru setahun bersuluk. Secara rutin, setiap Jumat atau Sabtu malam, Fulan bersama salik lainnya datang ke rumah sang Mursyid untuk riyadhah. Suatu ketika, sebelum riyadhah, sang Mursyid mewanti-wanti agar besok selepas subuh, Fulan hendaknya jangan pulang dulu, karena sang Mursyid hendak memberinya tes. Beberapa kali sang Mursyid mengulangi perkataan ini kepada Fulan sehingga mengesankan sesuatu yang teramat sangat serius.Keesokan paginya, setelah mandi pagi, sang Mursyid menyuruh Fulan sarapan terlebih dahulu. Setelah menunggu beberapa lama, sekitar jam 10 lewat, sang Mursyid masuk ke mushala, berganti baju takwa, dan memanggil Fulan ke dalam mushala. Semua jam tangan, dompet, ikat pinggang, atau apa pun yang akan mengganggu gerakan disuruh dilepaskan. Di dalam mushala, Fulan disuruh berdiri di hadapan sang Mursyid. Pintu mushala dibuka dan beberapa salik lain yang belum pulang disuruh melihat.



Sang Mursyid memohon sejenak kepada Allah Ta‘ala, hening, lalu mendadak beliau langsung berkata dengan keras: “Tunjukkan kepada mursyidmu jurus-jurus yang Allah Ta‘ala simpan dalam dirimu!” Fulan merasa seperti ‘lenyap’ dan tiba-tiba nafs-nya menggerakkan jasadnya mengeluarkan banyak jurus bela diri. Jurus-jurus ini berubah sesuai teriakan sang Mursyid, “Jurus pembuka!” atau “Jurus Satu! Jurus Dua!” dan seterusnya, maka Fulan pun bergerak, melompat, merayap, mengelak, memukul, dan seterusnya. Bagi Fulan, ini adalah pengalaman luar biasa karena ternyata dalam dirinya ada jurus yang entah dari mana asalnya.

Sang Mursyid pernah menjelaskan bahwa Allah Ta‘ala memberikan mekanisme pertahanan diri pada setiap makhluknya. Misalnya, taring dan cakar bagi singa dan harimau, cakar dan paruh bagi burung elang, atau tanduk pada rusa, kambing, kerbau dan lain sebagainya. Begitu pula dengan manusia, bahwasanya Allah Ta‘ala pun memberikan mekanisme pertahanan diri berupa jurus-jurus khas yang unik pada diri setiap manusia. Namun, jurus itu hanya bisa keluar apabila manusia telah membersihkan nafs-nya dari dosa. Selain itu, jurus itu pun hanya bisa keluar apabila manusia berserah diri kepada Allah Ta‘ala, dalam keadaan tenang, serta bukan sedang dalam kondisi marah atau bahkan memiliki keinginan untuk menyerang.

Kembali kepada Fulan, setelah selesai dengan tesnya dan Fulan berdiri tenang, sang Mursyid menekankan: “Kalau nanti ada perkelahian yang harus engkau hadapi, jangan lari!” Itulah suara sang Mursyid yang terdengar di telinga. Tetapi, di hati Fulan suara itu berubah menjadi pemahaman: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS Al-Baqarah [2]: 286) Setelah selesai, Fulan pun pulang dan diantar sampai gerbang rumah oleh sang Mursyid sambil mengingatkan lagi: “Ingat, jangan lari kalau memang harus menghadapi perkelahian.” Fulan mengangguk, pikirnya, kalau ternyata dalam dirinya ada jurus seperti tadi, kenapa juga harus lari. Pada saat itu, ada sedikit rasa bangga diri di hati Fulan. Semua nasihat sang Mursyid hari itu dicatatnya di buku riyadhah seakurat mungkin. Dan Fulan pun bersiap diri karena merasa akan menghadapi ‘perkelahian’ dalam waktu dekat.

Beberapa bulan berlalu. Perkelahian yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang, dan Fulan pun mulai mengendurkan mental alertness akan perkelahian. Nasihat sang Mursyid mulai dilupakannya. Tidak berapa lama kemudian, pelan-pelan Fulan mulai masuk ke sebuah masalah dalam kehidupan. Semakin lama semakin pelik dan kompleks, begitu menekan dan menyita waktu serta energinya. Segala cara Fulan coba untuk menghadapinya, segala akal diputar, segala doa dimohonkan, tapi tetap saja masalah tersebut gagal dipecahkan.

Kondisi ini berlangsung beberapa bulan, sampai satu titik di mana seakan-akan nafs dan jasadnya begitu muak dengan persoalan tersebut. Fulan stress, jenuh, pusing, dan memutuskan meninggalkan saja masalah itu. Dia menarik diri, dan membatin dalam hatinya, “Masa bodoh! Enyahlah! Saya keluar dari masalah ini!” Keputusan ini membuat Fulan merasa lega luar biasa. Dalam keadaan lega ini, Fulan kembali ke rumah sang Mursyid untuk riyadhah. Fulan ingin bersyukur karena telah keluar dari masalah yang menghimpitnya beberapa bulan ini. Namun, sesampainya Fulan di rumah sang Mursyid, setelah disambut ramah, begitu Fulan masuk dan duduk di ruang tengah, tiba-tiba terjadilah sesuatu. Di dalam rumah, sikap sang Mursyid berubah. Beliau menghampiri Fulan, dan kepalanya tiba-tiba didorong dengan keras menggunakan telapak tangan sang Mursyid sampai posisi duduk Fulan terbawa miring. Beliau membentak, “Kamu ini bagaimana? Ada pertempuran malah lari! Sudah dibilang jangan lari dari perkelahian!”

Setelah berkata demikian, sang Mursyid beranjak ke mushala dan shalat, serta membiarkan Fulan di ruang tengah. Di tengah kebingungan karena kepalanya didorong dengan keras secara tiba-tiba, Fulan berpikir: “Perkelahian mana yang Mursyid maksudkan? Rasanya saya belum pernah lari dari perkelahian?” Fulan pun memohon agar Allah Ta‘ala memberinya pemahaman ihwal kemarahan sang Mursyid. Kemudian Fulan teringat bahwa satu-satunya ‘pertempuran’ yang dia lari darinya, yang terjadi baru-baru saja, ternyata adalah masalah kehidupan yang ditinggalkannya. Ternyata itulah yang sang Mursyid maksud dengan ‘pertempuran’ yang harus dihadapi, yaitu, masalah kehidupan. Ternyata tes jurus hanyalah simbol bahwa dalam diri manusia sebenarnya sudah ada sarana untuk menghadapi masalah kehidupan. Jika Allah Ta‘ala menakdirkan manusia untuk menghadapi sesuatu, tentu dalam diri mereka pun sudah disediakan alatnya. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS Al-Baqarah [2]: 286). Sadarlah Fulan betapa dia begitu naif dan bodoh, menganggap ‘pertempuran’ dan ‘tes jurus-jurus’ hanya sebagai ‘berkelahi’ secara fisik.

Berikut kisah nyata salik thariqah Kadisiyyah lainnya. Suatu ketika, seorang salik yang kita sebut juga Fulan, bertandang ke rumah sang Mursyid untuk riyadhah sambil memberitahukan bahwa dirinya telah diterima menjadi dosen di institut terkemuka Indonesia. Ketika mendengar hal itu, sang Mursyid malah menghinanya habis-habisan: “Hah, jadi dosen? Apaan? Gaji kecil, pangkat rendah, mau jadi apa kamu?” Mendapat hinaan seperti itu, Fulan merasa sangat sakit hati. Keesokan harinya dia pulang ke rumahnya. Setelah kejadian itu, Fulan sering berdoa kepada Allah Ta‘ala agar menegur sang Mursyid—sebagai hamba yang dicintai-Nya—bahwa hinaannya tersebut sangat tidak baik dan menyakitkan hati orang lain. Tak lama kemudian, Fulan pun kembali bertandang ke rumah sang Mursyid. Beberapa lama Fulan memperhatikan gerak-gerik sang Mursyid. Fulan ingin memastikan apakah Allah Ta‘ala telah menegur sang Mursyid ihwal hinaannya yang menyakitkan tersebut. Tiba-tiba saja sang Mursyid berkata kepada Fulan: “Kalau orang itu sakit hati, bukankah itu salahnya sendiri?” Mendengar perkataan sang Mursyid, Fulan terperanjat, dan dia pun membatin, “Oh, ternyata Allah Ta‘ala ada di pihak Mursyid. Kalau begitu, memang saya yang salah.” Rupanya hinaan sang mursyid itu untuk “menghajar” harga diri Fulan. Kalau ternyata Fulan malah tersinggung, berarti dia masih memelihara harga dirinya.

Kedua kisah salik thariqah Kadisiyyah tersebut bisa menjadi pembuka yang bagus untuk mengoreksi beberapa kekurangtepatan penilaian tentang mursyid dan thariqah yang belakangan ini sering mengemuka. Berikut dua contoh representatif kekurangtepatan penilaian tersebut. Pertama, “Saya bukan pengikut tasawuf formal. Saya tidak pernah bersumpah setia di bawah telapak tangan seorang guru spiritual untuk hanya menaati dia seorang…Karena saya tidak menyukainya. Saya pikir, tidak ada pemikiran dan kesadaran sehat yang bisa terbangun jika seseorang telah memutuskan untuk berhenti bertanya, dan bersikap kritis.”1 Kedua, “…Sekurang-kurangnya ada tiga hal penting yang sering dipersoalkan orang mengenai tarekat ini. Pertama, soal otoritas guru yang mutlak tertutup dan cenderung bisa diwariskan. Kedua, soal bai‘at yang menuntut kepatuhan mutlak seorang murid kepada sang guru, seperti mayat di depan pemandinya; dan ketiga, soal keabsahan (validitas) garis silsilah guru yang diklaim setiap tarekat sampai kepada Nabi Muhammad Saw…Salah satu ciri utama tasawuf positif adalah rasionalitas. Karena itu, tasawuf positif harus menolak segala bentuk kepatuhan buta kepada seorang manusia—yang bertentangan dengan semangat Islam.”2

Sekilas, kedua penilaian ‘kritis’ atas mursyid dan thariqah tersebut terkesan tengah memperjuangkan keotonoman individu beserta rasionalitasnya, namun, sayangnya, agak tergesa-gesa menyimpulkan. Terlebih, kedua penilaian ‘kritis’ tersebut lebih merefleksikan dugaan ketimbang pembuktian melalui pengalaman menggeluti thariqah dan pencarian mursyid sejati. Akibatnya, seringkali muncul banyak komentar tentang tashawwuf, namun itu tak ubahnya seperti komentator sepakbola dengan pemain sepakbola. Seorang komentator sepakbola sangat mahir dalam menganalisis kesalahan pemain, strategi yang dimainkan, kegemilangan permainan, dan lain sebagainya. Namun yang lebih mengetahui dan merasakan realitasnya, yang bersusah-payah, pontang-panting, dan senantiasa waspada terhadap setiap serangan lawan—hingga akhirnya menjadi ‘pemilik sejati pengetahuan’ permainan bola—adalah sang pemain sepakbola itu sendiri. Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Bila kau merasa cemas dan gelisah akan sesuatu, masuklah ke dalamnya, sebab ketakutan menghadapinya lebih mengganggu daripada sesuatu yang kautakuti itu sendiri.”3 Namun, di sisi lain, bisa dimaklumi juga bahwa kedua penilaian ‘kritis’ di atas—yang enggan bersinggungan langsung dengan dunia thariqah—dilandaskan pada perkembangan mutakhir berbagai thariqah hingga kini yang lebih banyak memperlihatkan pembiasan. Akibatnya, lahirlah penilaian ‘miring’ tentang thariqah, dan tidak mengetahui prinsip terdasar kemursyidan dan ke-thariqah-an.

Pembiasan adalah hal yang lazim terjadi dalam perjalanan sejarah kemanusiaan. Bahkan berbagai kitab suci pun sering mengemukakan bagaimana di setiap masa senantiasa terjadi pembiasan ajaran agama sepeninggal sang pembawa risalah atau nubuwah. Ini tak ubahnya air yang semakin keruh ketika menjauhi sumber mata airnya, sehingga praktis di hilir hanya akan ditemui air kotor yang sudah tercampur sampah, bangkai dan kotoran. Begitu pula halnya dengan thariqah. Ketika sang pendiri atau mursyid sejatinya meninggal, maka hanya kehendak dan izin Allah Ta‘ala semata yang bisa menjamin kemurnian dan keberlanjutan thariqah tersebut, yaitu, dengan menghadirkan mursyid (sejati) pengganti. Apabila Allah Ta‘ala tidak menghadirkan mursyid sejati pengganti, berarti thariqah tersebut sudah berakhir. Kemursyidan itu adalah misi hidup. Itu hanya boleh dipegang oleh mereka yang telah mencapai ma‘rifat dengan misi hidupnya adalah mursyid. Tidak semua orang yang telah ma‘rifat serta merta menjadi mursyid. Wali Quthb (pemimpin para wali di suatu zaman) seperti Ibn ‘Arabi atau al-Sabti ibn Harun al-Rasyid, misalnya, tidak pernah menjadi mursyid thariqah hingga akhir hayatnya, dan banyak lagi wali lainnya yang tidak pernah menjadi mursyid thariqah.

Selain itu, tidak semua mursyid adalah waliyullah, sebagaimana tidak semua waliyullah adalah mursyid. Misalnya, Muhammad Rahim Bawa Muhayaddeen adalah seorang mursyid namun bukan wali. Adapun waliyullah itu adalah “rasul” atau utusan pada tingkatan terendah, karena mereka tidak membawa kitab suci, syariat dan agama baru. Tentang hal ini, Ibn ‘Arabi menjelaskan: “Rasul-rasul tidak pernah berhenti dan tidak akan pernah berhenti keberadaannya di dunia ini sampai Hari Kebangkitan, dan ini tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa mereka tidak membawa sebuah agama yang membatalkan agama Muhammad, dan mereka tidak menganut agama apa pun kecuali agama Muhammad. Namun, sebagian besar manusia tidak mengetahui masalah ini.”4

Tiap-tiap umat mempunyai rasul; maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka tidak dianiaya… (QS Yunus [10]: 47-49)


Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat: “Sembahlah Allah, dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya… (QS An-Nahl [16]: 36)


Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini?… (QS Al-An’âm [6]: 130)
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka… (QS Ibrahim [14]: 4)

Bagaimana dengan para wali? Sebagaimana terlihat dalam Al-Quran bahwa manusia itu senantiasa menyimpang dan menjauh dari Tuhannya, dan akan senantiasa seperti itu. Hal yang serupa terjadi pula pada umat Islam. Maka, para waliyullah bertugas untuk meluruskan kembali orientasi perjalanan umat, membawa jalan penyucian, serta memurnikan kembali Ad-Dîn-Nya yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad Saw berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadis. Mereka, yaitu para rasul atau utusan, adalah orang-orang yang diberi wewenang oleh Allah untuk memberi petunjuk bagi manusia.

Dan diantara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan al-haqq dan dengan al-haqq itu mereka menjalankan keadilan. (QS Al-A’râf [7]: 181)


Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa al-haqq sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan. (QS Fâthir [35]: 24)

Tidak semua rasul adalah nabi, sebagaimana tidak semua nabi adalah rasul, karena rasul mempunyai misi ke umat. Apabila pintu nubuwwah (kenabian) sudah tertutup, seandainya tidak ada rasul untuk tiap-tiap umat, siapa yang akan membimbing umat serta menjelaskan makna terdalam dari Al-Quran? Padahal manusia senantiasa menyimpang jalannya. Itulah misi para waliyullah. Merekalah yang akan menzahirkan Islam dengan kekuatan dari sisi Allah, dan sepanjang zaman akan ada orang-orang yang menjadi rasul atau utusan pada peringkat terendah untuk membimbing umat. Dengan niat ikhlas untuk bertaubat manusia harus mencari utusan itu. Di Nusantara ini, khususnya di Pulau Jawa, pernah ada fenomena kewalian yang sangat unik dan berbeda dari fenomena kewalian di jazirah Arab dan India pada umumnya. Para wali yang mengislamkan Tanah Jawa dikenal dengan nama Wali Sanga (Sembilan Wali) yang juga merupakan Wali Sangga (Dewan Wali).

Fenomena Dewan Wali ini dapat dibandingkan dengan kewalian di kalangan para sahabat setelah meninggalnya Rasulullah Muhammad Saw, karena mereka kerap berkumpul dalam satu majelis untuk membahas masalah agama dan umat. Namun, setelah masa kewalian para sahabat, kewalian di jazirah Arab dan India tidak lagi menzahirkan adanya Dewan Wali, sehingga terkesan terpencar dan berdiri sendiri, walaupun secara konseptual ihwal Dewan Wali pernah dituliskan oleh Ibn ‘Arabi.5 Baru di Tanah Jawa-lah kesembilan wali itu kerap berkumpul untuk membahas masalah agama dan umat, bahkan Masjid Demak pun didirikan secara bersama oleh Dewan Wali tersebut.

Para wali-Ku di bawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali kecuali jika Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya. Supaya ia juga langsung mengenal kepada Allah dan kebesaran-Nya yang diberikan kepada seorang manusia yang dikehendaki-Nya. (Al-Hadis)

Setiap waliyullah itu memegang segel walayah (kewalian) nabi tertentu dalam salah satu aspek khusus. Misalnya, Abdul Qadir Jailani adalah walayah Musaiyyah dalam aspek karamahnya yang zahir, sebagaimana zahirnya mukjizat Nabi Musa. Atau Syaikh Alawi (salah satu wali shufi abad 20 seperti Imam Khomeini) adalah walayah Isaiyyah dalam aspek kezuhudannya, sebagaimana zuhudnya Nabi Isa, sehingga tampak sangat miskin dari kepemilikan harta dunia. Dan banyak lagi segel walayah lainnya. Di antara walayah tersebut, ada yang merupakan walayah Muhammadiyyah, yang dimulai pertama kali oleh Imam Ali bin Abi Thalib dan ditutup oleh Ibn ‘Arabi (keturunan Abu Bakar Ash-Shiddiq) sebagai Khataman Walayah Muhammadiyyah. Karena itu, setelah Ibn ‘Arabi, tidak akan ada lagi waliyullah yang berada dalam segel walayah Muhamadiyyah, tetapi segel walayah Nabi lainnya akan terus berlangsung hingga akhir zaman.


Ya Rabb kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Baqarah [2]: 129)

Sebagaimana Kami telah Mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu keta¬hui. (QS Al-Baqarah [2]: 151)

Dialah Yang Mengutus kepada kaum yang ummi seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS Al-Jumu‘ah [62]: 2)

Dari ayat Al-Quran di atas, terlihat bahwa misi para rasul, dan dalam hal ini lebih dikhususkan kepada waliyullah, adalah membacakan atau menampilkan ayat-ayat Allah atas seizin-Nya, mengajarkan Al-Kitab (bukan membawa kitab suci dan syariat baru), mengajarkan hikmah atau inti kebijaksanaan, serta membawa jalan pensucian. Adapun pengertian ummi itu ada dua, yaitu, buta huruf dan baca tulis, atau buta dari perkara-perkara al-haqq dan ummi dari ayat-ayat yang mutasyabihat. Ciri-ciri Rasul itu adalah laki-laki dan diberi wahyu.



Dan Kami tidak Mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS An-Nahl [16]: 43)

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul menda¬tangkan sesuatu ayat melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab. (QS Ar-Ra’d [13]: 38)



Namun, sebagaimana senantiasa berulang dalam sejarah para Nabi, hal yang serupa terjadi pula terhadap para waliyullah tersebut, yaitu umatnya pun tidak dapat mengenali kebenaran yang dibawakan, untuk kemudian malah menentang mereka. Hal ini adalah ujian dari Allah bagi para utusan-Nya serta merupakan suatu Sunatullah. Adanya kisah-kisah para Nabi dengan umatnya di Al Quran merupakan peringatan dari Allah agar menjadi pelajaran bagi manusia, bahwa bila datang seorang Rasul kepada mereka dan mereka membantah, maka azablah akibatnya.

Bertanya Sa’ad bin Abi Waqqash, “Di antara manusia, siapakah yang mendapat seberat-berat ujian, wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw menjawab, “Para Nabi, kemudian orang-orang yang semisal dengan mereka, lalu orang-orang yang sejenis dengan mereka itu pula!” (Al-Hadis)


Mereka yang dikatakan sejenis dengan para Nabi tetapi bukan Nabi—yang berarti tidak membawa nubuwwah atau agama baru—adalah mereka yang sejenis dalam misi hidup yang diembannya, yaitu sebagai Hujjah-Hujjah Allah. Rasulullah Saw pernah bersabda “Para ulama di kalangan umatku bagaikan nabi-nabi bani Isra’il.” Di antara para waliyullah ada yang disebut sebagai Quthbun ‘Auliyya, yang menjadi pemimpin dari para waliyullah lainnya. Mereka adalah para Rabbaniyyah pada zamannya. Jenjang Rabbaniyyah adalah tingkat kesucian para Nabi. Imam Ali bin Abi Thalib, yang merupakan Quthbun ‘Auliyya pertama pasca Rasulullah, mengatakan bahwa: “Manusia itu ada tiga macam: Rabbani yang berilmu; atau orang yang senantiasa belajar dan selalu berusaha agar berada di jalan keselamatan; atau—selebihnya—orang-orang awam yang bodoh dan picik, yang mengikuti semua suara—yang benar maupun yang batil—bergoyang bersama setiap angin yang mengembus, tiada bersuluh dengan nur ilmu dan tiada melindungkan diri dengan “pegangan” yang kukuh-kuat.”6 Sedang Abu Yazid Al-Bisthami, Quthbun ‘Auliyya periode berikutnya, mengatakan: “Bukanlah seorang ulama itu yang hapal sebuah kitab, apabila ia lupa pada apa yang dihapalnya ia pun kembali menjadi orang bodoh. Namun seorang ulama adalah seorang yang mengambil ilmu dari Tuhannya di setiap saat yang dikehendakinya, tanpa hapalan maupun pengkajian, itulah yang disebut ulama Rabbaniyyah.”7

Predikat wali di masyarakat awam biasanya adalah penisbatan sederhana kepada figur-figur yang dinilai ‘layak’ menjadi wali. Begitu pula dengan penisbatan gelar ulama. Namun, salah satu pengertian ulama adalah mereka yang seperti disabdakan oleh Rasulullah Muhammad Saw, yaitu, “Seorang syaikh pada kaumnya adalah seperti nabi pada umatnya.” dan “Ulama itu pewaris dari Nabi-Nabi.” Keulamaan seperti ini lebih susah untuk dikenali oleh orang banyak, karena seperti dikatakan Imam Al-Ghazali, ulama jenis seperti ini adalah kuburan berbagai rahasia Ilahi.

Rasul-rasul itu—minimal tingkatan waliyullah—adalah mereka yang disebut Imam Ali bin Abi Thalib sebagai Qa’im billah bi hujjah (petugas Allah pembawa hujjah-Nya). Mereka merupakan orang-orang yang telah dipelihara Allah melalui petunjuk-petunjuk-Nya, sehingga mereka berada di atas Shirâthal Mustaqîm dan menjalankan qudrah-Nya. Mereka telah menemukan misi hidupnya dan menjadi saksi Allah yang haqq (syuhada). Mereka itulah yang seharusnya menjadi ikutan umat, pemandu-pemandu untuk menemukan jati diri masing-masing, misi hidupnya, para pemandu ke Shirâth Al-Mustaqîm.

Sedangkan jalan pensucian yang dibawa oleh para utusan tersebut pasti akan dikenali dan diikuti hanya oleh mereka yang memang beritikad sungguh-sungguh ingin bersih dan suci, karena Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Dia Ta‘la tidak mungkin menyesatkan manusia yang ingin kembali kepada-Nya dengan tulus. Allah pasti akan membimbingnya menuju jalan pensucian. Adapun maksud kata suci (yudzakûna) tidaklah sama dengan bersih (thaharah). Suci artinya bersih dan mendapat nur Allah, dan nafsnya bersih sama sekali dari dosa.

Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan nafs itu. (QS Asy-Syams [91]: 9)

Mursyid sejati adalah pembimbing spiritual para salik thariqah untuk memurnikan dan menyucikan diri, sebagaimana halnya Rasulullah Saw pun adalah mursyid bagi segelintir sahabat yang terpanggil untuk menempuh suluk. Memang, pada awalnya, di zaman Rasulullah Muhammad Saw, thariqah itu tidak seeksplisit seperti pada masa sesudahnya. Hal itu dikarenakan bahwa dengan menjalankan syariat yang, seolah, hanya terlihat lahiriahnya (begitulah kesan yang sering mengemuka dalam berbagai periwayatan seputar sirah Rasulullah Muhammad Saw), nafs para sahabat sudah bisa dibangunkan dan mengalami pensucian. Bayangkan, betapa besarnya tantangan yang harus dihadapi oleh umat muslim pada masa itu. Sebuah agama baru dengan segelintir penganut yang harus mempertaruhkan nyawa ‘hanya’ untuk menjalankan agamanya. Kemudian, setelah Islam mulai mapan sebagai agama, ketika umat muslim bisa leluasa beribadah tanpa ancaman kematian, dan Islam mulai meraih berbagai kemenangan di daerah-daerah wilayah penaklukan baru, maka thariqah sebagai metode untuk membangunkan dan membersihkan nafs yang lumpuh karena berbagai dosa menjadi dieksplisitkan. Begitu pula halnya dengan kemursyidan.


Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ‘ilm tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan fu‘ad semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS Al-Isrâ’ [17]: 36)

Dengan melihat kisah di awal tulisan ini, kedua penilaian ‘kritis’ di atas bisa dipertanyakan balik: benarkah dalam thariqah berlangsung ketaklidan buta tak bersyarat dari seorang salik kepada mursyidnya? Kepatuhan seperti jenazah di hadapan pemandinya? Permasalahannya, bagaimana seorang salik bisa taklid kepada sang Mursyid, sementara perkataan sang Mursyid sendiri ternyata seringkali sulit dipahami sehingga sangat potensial untuk salah ditafsirkan? Salik menafsirkan tengah diajari untuk bersiaga terhadap “serangan” lahiriah, sementara sang Mursyid sebenarnya tengah mengajari kesiagaan batiniah terhadap “serangan” batiniah (masalah kehidupan). Coba bayangkan juga, seperti apa bentuk ketaklidan seorang salik kepada sang Mursyid, ketika harga dirinya dihajar oleh sang Mursyid dengan menghinanya habis-habisan ihwal pekerjaan?

Bagaimana dengan berbagai pertanyaan yang muncul dan berlalu-lalang? Setiap pertanyaan yang muncul di benak manusia itu pasti ada hak jawabannya. Itu tak ubahnya seseorang yang tengah menunggu di ruang tamu. Kemudian dari arah dapur tercium olehnya bau masakan. Bersabarlah, karena tepat pada saatnya makanan tersebut akan dihidangkan. Begitu pula halnya dengan berbagai pertanyaan di benak manusia. Tidak semuanya harus terjawab saat ini juga. Bersabarlah, karena jawaban atas berbagai pertanyaan yang muncul di benak ada hak jawabannya, hanya tinggal masalah waktu saja. Namun, tak jarang manusia begitu arogan sehingga merasa bahwa rasionalitasnya pasti bisa memahami segala hal saat ini juga, dan bisa menghakimi segala perkara dengan bermodalkan ilmu yang kini dimilikinya. Seakan rasionalitas itu tidak punya kelemahan dan batasan. Biasanya terhadap salik tipe ‘fundamentalis rasional’ seperti ini, mursyid sejati akan menghajar habis-habisan keliaran berpikirnya agar bisa fokus demi kebaikan salik itu sendiri. Hal yang paling sulit adalah menjinakan keliaran pikiran untuk fokus kepada perkara fundamental, yaitu, misi hidup yang Allah Ta‘ala amanahkan kepada dirinya. Pikiran yang liar itu seperti lampu pijar 10 watt, hanya cocok dipakai untuk lampu tidur. Namun, apabila cahaya 10 watt tersebut difokuskan menjadi laser, maka besi pun dapat ditembusnya.

Misalnya, seseorang menyatakan bahwa karena dia memiliki kecenderungan ilmiah, maka dia memerlukan penjelasan ilmiah terlebih dahulu sebelum memutuskan bersuluk. Namun, kebanyakan manusia memiliki mentalitas untuk tergesa-gesa menyimpulkan sebelum tuntas mendengarkan dan menelaah. Kecenderungan sikap ilmiah itu baik, terlebih karena setiap manusia itu unik serta memiliki kebutuhan dan jalan masuk berbeda-beda. Ibaratnya, ada seekor kucing (pertanyaan) yang selalu mengeong dalam rumah (pikiran) kita, karena lapar meminta makanan (jawaban). Apabila kucing (pertanyaan) tersebut tidak diberi makanan (jawaban), maka rumah (pikiran) kita akan berisik oleh suara mengeongnya. Akibatnya, kita pun tidak bisa belajar dengan tenang. Karena itu, berilah makanan (jawaban) yang tepat untuk mengenyangkan kucing (pertanyaan) dalam rumah (pikiran) kita. Penuhilah haknya, sehingga dia bisa diam dan kita pun bisa belajar dengan tenang. Apabila makanan (jawaban) belum ditemukan, bersabarlah, saatnya pasti akan tiba.

Di sisi lain, dalam sejarah tashawwuf ada juga tipe sufi yang dinamakan sebagai Uwaysiyyah. Nama ini merujuk kepada seorang tokoh sezaman Rasulullah Saw. yang mengetahui ihwal beliau Saw. tetapi tidak pernah bertemu secara langsung sepanjang hidupnya. Demikian pula Rasulullah Saw., mengetahui Uways tanpa pernah bertemu dengannya. Hal itu disebabkan oleh suatu kondisi sehingga Uways tidak bisa menunggu untuk bertemu dengan Rasulullah Saw. Kondisi Uways berbeda dengan Salman Al-Farisi yang Allah Ta‘ala bukakan jalan untuk bisa bertemu dengan Rasulullah Saw., meskipun berasal jauh dari Persia, dan harus dua kali pindah agama sebagai proses pencariannya.

Ketidakberanian mengambil resiko untuk mengarungi lautan (thariqah), terlebih terburu-buru melontarkan pernyataan yang mengisyaratkan keengganan mencari mursyid sejati zamannya, atau senantiasa memilih berjarak ala saintis serta mengandalkan kecerdasan otak untuk ber-tashawwuf secara wacana, akan mustahil mencapai tingkatan ma‘rifat.

Rumi menggambarkan hal itu sebagai berikut:

Ketika kauletakkan muatan di atas palka kapal, usahamu itu tanpa jaminan, Karena engkau tak tahu apakah engkau bakal tenggelam atau selamat sampai tujuan.
Jika engkau berkata, “Aku takkan berlayar sampai aku yakin akan nasibku,” maka engkau takkan berniaga: lantas rahasia kedua nasib ini takkan pernah terungkap.
Saudagar yang penakut takkan meraih untung maupun rugi; bahkan sesungguhnya ia merugi: orang harus mengambil api agar mendapat cahaya.
Karena seluruh kejadian berjalan di atas harapan, maka hanya Imanlah tujuan terbaik harapan, karena dengan Iman memperoleh keselamatan.9

Amati juga kisah pencarian Umar bin Khathab. Semasa kecilnya, dia dididik dengan sangat keras oleh ayahnya sehingga membentuk Umar yang keras. Ketika telah menikah dan dianugrahi anak, dia ditipu oleh istrinya sendiri bahwa putrinya adalah seorang lelaki. Namun, belakangan dia mengetahui bahwa anaknya adalah perempuan. Umar pun membunuhnya. Dan ketika Rasulullah mulai mendakwahkan nubuwahnya, Umar pun menjadi salah seorang penentangnya. Tapi lihatlah apa yang membuat dia menentang Islam. Umar ingin membunuh Rasulullah karena agama yang didakwahkan beliau telah membuat ayah berpisah dari anaknya, istri berpisah dari suaminya, kakak berpisah dari adiknya, sahabat berpisah dari sahabatnya. Kalau agama Islam adalah kebenaran, kenapa agama tersebut justru membuat manusia tercerai berai? Itulah keheranan Umar. Dan surat Thaha yang dibacanya malah membuatnya tergerak untuk masuk Islam. Mengenai hal ini Rumi mengemukakan sebagai berikut:

Pernahkah kau dengar nama segala sesuatu dari Yang Mengetahui?: dengarlah makna rahasia ‘Dia mengajarkan kepadanya Nama-nama.’
Bagi kita, nama segala sesuatu adalah bentuk lahirnya; bagi Sang Pencipta, ia adalah hakikat batinnya.
Dalam pandangan Musa nama tongkatnya adalah “tongkat”; dalam pandangan Tuhan namanya “naga”.
Di dunia ini nama “Umar adalah pemuja berhala”, namun di alam baka ia adalah “mu‘min yang sesungguhnya”.
Di hadapan Tuhan, pendek kata, segala yang merupakan tujuan kita adalah nama kita yang sebenarnya.10

Bagaimana kalau ternyata seseorang malah terjerumus masuk kelompok agama yang salah dan pembimbing yang menyesatkan? Tengoklah epik Dewaruci. Bima belajar pada Dorna yang beberapa kali akan mencelakakannya. Tetapi kemurnian niat Bima dalam pencarian malah menyelamatkannya dari niat Dorna tersebut. Hingga di akhir epik tersebut, Bima berhasil menemukan Dewaruci (Ruci artinya Ruh Suci atau Ruhul Quds) yang masuk ke dalam telinganya. Sekali lagi ditegaskan, Allah Ta‘ala tidak akan menyesatkan siapa pun yang berniat murni mencari-Nya.

Berfirman Allah yang Mahasuci dan Mahatinggi: “Apabila diingat Aku oleh hamba-Ku pada dirinya, niscaya Aku mengingat dia pada Diri-Ku. Apabila ia menyebutkan Aku dalam kumpulan orang banyak, niscaya Aku menyebutkan dia dalam kumpulan yang lebih baik dari kumpulannya. Apabila ia mendekati Aku sejengkal, niscaya Aku mendekatinya sehasta. Dan apabila ia mendekati-Ku sehasta, niscaya Aku mendekatinya sedepa. Dan apabila ia berjalan kepada-Ku, maka Aku berlari kepadanya.” (Al-Hadis)

Thariqah adalah jalan kering dalam lautan, perjalanan seseorang menuju Tuhannya di muka bumi ini tanpa terbasahi oleh lautan duniawi. Tak ubahnya seperti ikan yang hidup di laut asin, tapi tidak menjadi asin karenanya. Thariqah bukanlah berarti seseorang itu harus hidup dengan mengabaikan dunia dan miskin. Manusia tidak mungkin bisa mencapai tingkatan ma‘rifat, yaitu mengenal Tuhannya, menemukan diri sejati serta misi hidupnya, dengan cara menjauhkan diri dan tidak bergaul dengan masyarakat serta tidak berikhtiar untuk penghidupannya dan menghargai syariat. Seseorang boleh saja kaya raya, seperti Nabi Sulaiman, tapi tidak boleh mengisi hatinya dengan kecintaan terhadap dunia. Inilah yang disebut dengan zuhud.

Jelaslah, bahwa mencari Allah Ta‘ala itu justru dengan berlaku amanah terhadap segala hal yang Allah Ta‘ala izinkan sampai ke tangan kita dalam kehidupan dunia ini. Entah itu berupa harta benda, anak dan istri, pengetahuan dan gelar, juga pekerjaan dan jabatan. Adapun yang dimaksud dengan suluk adalah mekanisme bagi seorang manusia yang mencari Allah untuk berlatih melepas nafsnya dari kemelekatan terhadap tubuh, sehingga pada waktu ajalnya tiba tidak mengalami kesulitan untuk lepas.

Dalam Al-Quran, perkara mengenai thariqah banyak direpresentasikan melalui perjalanan hijrah Nabi Musa (nabi yang paling banyak disebutkan dalam Al-Quran) dan Bani Israil (yaitu, mereka yang berjalan di malam hari menuju Allah Ta‘ala). Peristiwa pembelahan laut—yang menjadi salah satu mukjizat Nabi Musa—adalah representasi perjalanan thariqah. Thariqah dikenal juga dengan nama olah jiwa. Thariqah berhubungan dengan konsep penemuan diri atau ma‘rifatunnafs-ma‘rifatullah, serta Ruhul Quds. Konsep ini dibawa oleh semua Nabi hanya saja sering disamarkan, dan hanya terbuka bagi mereka yang benar-benar mencari Allah Ta‘ala saja. Misi hidup ini merupakan harta karun yang harus digali oleh setiap manusia di dalam dirinya sendiri. Penggalian diri ini seharusnya membuat manusia sangat bersemangat, sehingga hidupnya dapat terhindar dari kerugian besar ketika bertemu Allah Ta‘ala nanti. Disamarkannya rahasia-rahasia besar, seperti misi hidup, dalam Al-Quran dapat dianalogikan dengan tes buta warna. Bagi seseorang yang buta warna, pola-pola acak dari sekumpulan warna yang membentuk sesuatu pada alat tes buta warna hanya akan terlihat sebagai pola yang kacau. Namun, bagi yang tidak buta warna, pola tersebut akan membentuk sesuatu. Begitu pula dengan Al-Quran yang merupakan alat tes buta mata hati. Ayat-ayat Al-Quran akan terlihat acak-acakan, melompat-lompat, terkesan tidak linier, liar, tidak sistematis, dan tidak terstruktur bagi mereka yang buta mata hati. Namun, tidak demikian halnya bagi mereka yang terbuka mata hatinya, karena menempuh jalan pensucian.

Tujuan pertama thariqah adalah mendapatkan rahmat pertama, yaitu cahaya iman dan kesucian bayi seperti pertama kali lahir. Suatu keadaan ketika manusia belum lagi menumpuk dosa. Keadaan ini dinamakan juga dengan al-muththaharûn. Tujuan kedua dari thariqah adalah mendapatkan rahmat kedua, yaitu berupa Ruhul Quds yang akan mengingatkan manusia ihwal misi hidupnya, mengingatkan ihwal perjanjian primordial dengan Allah Ta‘ala (QS Al-A‘raf [7]: 172) dan membimbingnya dalam menjalankan misi hidup tersebut. Tahap inilah yang dinamakan sebagai ma‘rifat, tahap ketika seseorang setelah mengenal nafs-nya, maka akan mengenal Rabb-nya (tingkatan syuhada). Sedang tujuan ketiga dari thariqah adalah menjadi hamba-Nya yang didekatkan (qarib). Fungsi mursyid adalah membimbing saliknya hingga sampai pada tujuan kedua dari thariqah, yaitu menjadi syuhada. Setelah itu, yang akan berperan sebagai mursyid adalah Ruhul Quds-nya sendiri untuk ber-dharma sebagai shiddiqiin.

Suatu ketika, saat sedang makan siang, seorang salik bertanya kepada Mursyid thariqah Kadisiyyah, “Pak, apakah tetangga di sekitar ini tahu bahwa Bapak adalah mursyid?” Beliau menjawab, “Ya, mereka tahu. Bahkan banyak di antara mereka yang datang kepada saya.” Kemudian salik itu bertanya kembali, “Lalu mengapa mereka tidak berguru pada Bapak?” Beliau menjawab, “Karena saya mengatakan kepada mereka, bahwa apabila kalian mau menjadi murid-murid saya, maka kalian harus siap-siap dibersihkan. Harta-harta yang kalian dapatkan dengan cara yang tidak halal akan dihilangkan dari kalian. Ternyata mereka pun kemudian malah ketakutan dan mundur dengan sendirinya.”

Berikut adalah contoh paling terkenal, yaitu pertemuan Musa dan Khidir. Bagaimana cara menilai kemuliaan akhlak Khidir ketika dia membunuh anak yang orang tuanya adalah shalihin? Seorang novelis, misalnya, pernah mengambil perbuatan Khidir ini sebagai legitimasi untuk kenyelenehan karyanya. Cara seperti itu terlalu banal, karena hanya melihat peristiwa tersebut dari fenomenanya saja. Tidak lebih. Ada juga yang “atas nama nilai-nilai kemanusiaan Islam”, dan kengerian untuk meyakini bahwa hal itu benar-benar dilakukan oleh Nabi seperti Khidir, memilih memaknai peristiwa tersebut semata sebagai sesuatu yang simbolik saja.

Nah, kembali kepada pandangan ‘kritis’ di atas, kisah hidup Ibn ’Arabi berikut bisa memperlihatkan ketidaktepatan kritiknya terhadap peran mursyid. Beginilah ceritanya:

Aku bertemu dengan semua nabi dari Adam hingga Muhammad. Allah juga menunjukkan kepadaku setiap orang yang mengimani mereka—mulai dari masa lampau hingga datangnya Hari Kebangkitan, dari yang terbesar hingga yang terkecil.12

Peristiwa tersebut terjadi ketika Ibn ’Arabi masih berusia 26 tahun Qamariyyah. Hal ini diungkapkannya dalam pasase berikut:

Ketahuilah bahwa ketika Allah memperlihatkan kepadaku dan membuatku merenungkan semua rasul dan nabi dari bangsa manusia, mulai dari Adam hingga Muhammad, pada sebuah tempat (masyhad) yang di dalamnya aku dikaruniai untuk ikut serta, di Kordoba pada tahun 586 H, tak seorang pun dari mereka yang berbicara kecuali Hud, yang menjelaskan alasan mereka berkumpul.14

Perjumpaan tersebut terjadi pada suatu malam setelah ia berpisah dengan mursyidnya, Abu Muhammad al-Qaba‘ili, yang pernah Ibn ’Arabi jadikan sebagai ayah angkatnya. Lebih jauh, Ibn ’Arabi menceritakan perjumpaan tersebut sebagai berikut:

Kemudian aku mengamati seorang lelaki jangkung, berperawakan kasar, berambut putih dan berdagu lebar, yang meletakkan tangan pada pipinya. Dia berkata padaku: “Mereka semua adalah para nabi, mulai dari Adam hingga Muhammad; tak seorang pun dari mereka yang tak hadir.” Aku bertanya: “Anda sendiri? Apakah Anda termasuk bagian dari mereka?” Dia menjawab: “Aku Hud, dari kaum ‘Ad.” Aku berkata: “Mengapa Anda sekalian datang?” Dia menjawab: “Kami datang untuk mengunjungi Abu Muhammad.”

Zamzam Ahmad Jamaluddin pernah menguraikan sebagian makna penglihatan Ibn ‘Arabi tersebut. Pertama, ayat Al-Quran yang dibacakan oleh nabi Hud kepada Ibn ‘Arabi itu mengisyaratkan bahwa Ibn ‘Arabi telah benar-benar memahami makna keberserahdirian kepada Allah Ta‘ala (baca: dabbah yang dipegang ubun-ubunnya oleh Allah Ta‘ala) pada usia 26 tahun. Kedua, perjumpaan dengan seluruh nabi tersebut merupakan jawaban dari Allah Ta‘ala untuk Ibn ‘Arabi yang tampaknya tengah bertanya-tanya ihwal siapakah sebenarnya gerangan Abu Muhammad al-Qaba‘ili yang menjadi mursyidnya. Ayat Al-Quran dan perkataan dari nabi Hud menandaskan kepada Ibn ‘Arabi bahwasanya sang mursyid itu termasuk “dabbah yang Allah pegang ubun-ubunnya” sebagaimana halnya seluruh nabi yang dijumpai Ibn ‘Arabi.


Wahai salik yang ingin menemukan keselamatan, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah mencari seorang mursyid yang akan melihat kesalahan-kesalahanmu dan menunjukkannya kepadamu. Kamu boleh saja berjalan jauh dan berusaha keras membebaskan dirimu, tapi mursyidlah yang akan menyelamatkanmu dari perbudakan di bawah tirani hawa nafsumu. Lakukanlah ini sekarang, karena apa pun yang kita miliki saat ini adalah lebih baik daripada apa yang terbaik yang kita bayangkan akan kita miliki besok.
Ketika kamu menemukan mursyid, kamu harus menjadi seperti mayat di kedua tangan orang yang menyucikannya terakhir kali. Kamu harus siap menerima mursyidmu apa adanya. Tidak pernah mengkritik atau mencari kesalahannya, bahkan sekalipun ia bertindak melawan syariat. Tidak ada manusia tanpa kesalahan. Semua manusia bersalah dan berdosa, dan tidak ada yang selamat dari kekeliruan. Kamu bukanlah seorang hakim yang sedang mencari seseorang yang bersalah; kamu adalah seseorang yang bersalah yang mencari seorang hakim yang adil.

Jangan sembunyikan apa pun dari mursyidmu, gagasan atau niat, buruk atau baik. Jangan pernah duduk di tempat dia duduk. Jangan pakai apa pun yang dia pakai. Beradalah di hadapannya dengan hormat dan baik, layaknya seorang hamba di depan tuannya.

Ketika dia meminta sesuatu kepadamu, atau menyuruhmu melakukan sesuatu, bukalah kedua telingamu dan gunakan pikiranmu untuk memahami apa yang dia inginkan dengan pasti. Jangan lakukan apa pun tanpa yakin bahwa itulah yang dia inginkan. Jangan mencari-cari alasan mengapa dia menginginkan apa yang dia inginkan.
Jika kamu harus meminta sesuatu darinya, jangan mengharapkan atau bersikeras pada satu jawaban. Kamu harus mengatakan kepadanya penglihatan-penglihatanmu, tapi jangan bersikeras pada sebuah penafsiran.
Jangan dengarkan orang-orang yang berbicara melawannya, karena hal itu akan menimbulkan perlawan dalam dirimu terhadapnya. Jika kamu mengetahui orang-orang yang melawannya, tinggalkan mereka sendirian, jangan berbantah dengan mereka maupun mempertahankan persahabatan dengannya. Serahkan mereka kepada Allah. Allahlah yang akan melihat mereka.

Cintai mereka yang memuji mursyidmu dan penuhi kebutuhan-kebutuhannya sebagaimana kamu akan memenuhi kebutuhan-kebutuhanmu sendiri. Jika mursyidmu menceraikan istrinya, jangan pernah menikahinya atau memiliki apa pun yang berkaitan dengannya. Sekalipun demi tujuan paling baik, jangan pernah memasuki rumahnya tanpa izinnya.

Kamu harus berada sedekat mungkin dengannya tanpa membuat dirimu diperhatikan. Jika dia ingin berbincang denganmu, jangan tanyakan pertanyaan apa pun atau berdebat dengannya. Jangan menginginkan apa pun yang tidak dia inginkan. Jika sesuatu masuk kedalam pikiran, simpanlah itu untuk dirimu; jangan ungkapkan. Ikutilah jalan yang telah dia tunjukan untukmu. Dengan demikian, kamu akan menjaga posisi terhormatmu, posisi yang dicapai dengan kemuliaan perilaku yang baik. Begitulah ikatan antara kamu dan dia.
Ketika hendak meminta nasehatnya tentang masalah berkenaan dengan dirimu, lakukanlah hal ini jika dia suka, jangan lakukan jika dia tidak suka—tapi jika dia menyuruhmu untuk melakukannya dan dia marah kepadamu karena kamu melakukannya, berhentilah melakukannya. Perubahan pikiran ini adalah demi kebaikanmu, namun dia akan menyesalinya. Dengan mengingatnya belakangan bahwa kamu tidak melakukan kesalahan di dalamnya, dia akan mendapati dirinya bertanggung jawab dan merasa sedih. Dia akan berusaha memperbaiki apa yang telah dia lakukan kepadamu dan pada saat yang sama kamu akan menjaga kehormatanmu dan tingkah lakumu yang baik. Waspadalah, perasaan-perasaan yang buruk terhadap mursyid hanyalah ditemukan pada para murid yang malas, yang tidak melakukan kewajiban mereka, dan memiliki maksud-maksud buruk untuk memulainya.

Apa pun tindakan mursyid, jangan ditentang atau ditanyakan alasannya. Selalu taatlah. Bersikaplah rendah hati kepada para murid yang lebih disukai mursyidmu daripada kamu. Sekalipun dia tidak hadir, duduklah dengan pantas, berdirilah dengan pantas, dan berbicaralah dengan pantas sesuai dengan perilaku yang baik, seolah-olah dia ada di sana dan melihatmu. Jangan berjalan di depannya kecuali saat gelap. Jangan melihat ke matanya—jika kamu lakukan, itu akan mengurangi hormatmu kepadanya dan mengikis rasa malu dalam hatimu. Jangan duduk di depannya kecuali dalam keadaan niscaya, tapi tunggulah di balik pintu, agar kamu bisa segera berada di sana ketika dia menginginkan kamu. Jangan pergi ke manapun, bahkan sekalipun itu untuk mengunjungi ayahmu, tanpa izinnya.

Setiap kali kamu menjumpainya, ciumlah tangannya dan tetaplah berdiri hingga dia menyuruhmu duduk. Lindungi kekayaannya. Jika kamu membawakan sesuatu kepadanya untuk dia makan, bawakan apa yang dia sukai, pada waktu yang dia sukai, dengan cara yang dia sukai. Jangan menatapnya selama dia makan. Ketika dia selesai, bersihkan mejanya dengan segera. Jika ada sisa di piringnya dan dia menyuruhmu memakannya, lakukanlah, karena ada berkah di dalamnya. Jangan dengki pada apa yang dia makan dan jangan hitung kunyahannya.

Bekerja keraslah selalu. Ini akan menyenangkan mursyidmu. Selalu inginkan yang baik untuknya dan harapkan yang baik darinya. Namun, berhati-hatilah bahwa dia bisa memerdayamu, karena para mursyid terkadang bermaksud melakukan hal ini untuk menguji para muridnya. Perhatikanlah dan berhati-hatilah ketika kamu bersamanya. Jika kamu melakukan sesuatu yang tidak pantas dalam kehadirannya, berpikir bahwa dia tidak akan melihat, ketahuilah bahwa dia melihatnya dengan sangat baik karena dia melihat segala yang kamu kerjakan dan apa pun yang melintas dalam dirimu. Dia cuma berpura-pura tidak tahu, karena dia tidak ingin kamu dihukum. Di sisi lain, jika dia menghukummu dan menyiksamu serta menyakiti perasaanmu, terimalah itu dengan lapang dada, tanpa merasa jengkel kepadanya.

Selama dia senang kepadamu dan menyukai apa yang kamu lakukan, cintamu dan hormatmu untuknya akan semakin bertambah. Dan selama kerendahan hatimu dan ketaatanmu kepadanya semakin kuat, kehadiranmu akan tumbuh dalam hatinya dan keadaanmu akan bertambah baik. Ketika mursyidmu sedang berada dalam sebuah perjalanan, perhatikanlah waktu-waktu ketika kamu biasanya berjumpa dengannya, dan di tempat di mana dia duduk, sampaikan hormat secara batin seolah-olah dia berada di sana. Bukanlah hakmu untuk menanyainya kemana atau mengapa dia bepergian. Ketika dia berbicang denganmu mengenai suatu masalah, ketahuilah bahwa dia tidak sedang meminta pendapatmu karena dia membutuhkannya, melainkan sebagai sebuah tanda perhatian dan kebaikan. Jawabanmu sebaiknya, “Anda jauh lebih mengetahui.” Yang terpenting, waspadalah atas sikap melawan apa yang dia ingin lakukan. Bahkan sekalipun kamu sangat yakin bahwa apa yang sedang dia kerjakan adalah salah, bantulah dia melakukannya dan simpan pikiran-pikiranmu.

Di jalan sufi, seseorang maju hanya manakala mursyidnya maju. Tanganmu berada dalam genggaman tangan mursyidmu, dan tangan mursyidmu berada dalam genggaman tangan Allah. Perbincangan, diskusi, dan penafsiran tidak berlangsung untuk membawamu ke mana pun. Jalan menuju kebenaran adalah mengikuti petunjuk-petunjuk dengan tanpa menafsirkannya, karena pemahaman rahasia-rahasia berhubungan dengan yang mengetahuinya. Jika kamu berkata, “Aku pikir dia bermaksud begini,” atau, “Aku menduga dia menginginkan begitu,” sambil mencoba menafsirkan perintah-perintah mursyidmu, kamu betul-betul hanya mencoba melarikan diri dari melakukan apa yang harus kamu lakukan: duduklah dengan baik dan menangislah atas keabaianmu! Segala bencana yang menjatuhkan seorang murid berasal dari menafsirkan petunjuk-petunjuk sang mursyid. Semua ini adalah permainan hawa nafsu. Pikiran, akal yang sebenarnya, tidak menerima penafsiran: ia bukanlah salah satu yang ini maupun itu. Ada sebuah asal dan sebuah alasan untuk setiap perintah; orang cerdas sejati gelisah untuk memenuhinya.

Bahkan sekalipun kamu mengetahui apa yang sebaiknya dilakukan besok, jangan lakukan itu atau bahkan berpikir mengenainya hingga mursyidmu kemudian menyuruhmu. Terimalah setiap tindakan mursyidmu, semua cara hidupnya. Cara dia makan, minum, tidur, dan cara berjalan adalah urusannya, dan sebaiknya kamu tidak mempunyai satu pendapat atau satu komentar pun tentangnya. Demi kepentinganmu sendiri, masuk ke dalam kehidupan mursyidmu hanya ketika dipanggil. Jangan katakan, “Mursyid, apakah kita makan bersama di rumah?” atau, “Jika Anda tidak datang ke tempat si anu dan anu, saya akan pergi!” Dengan begitu, kamu sedang mencoba membuatnya meminta kamu untuk makan dengannya—memang terimalah begitu saja bersamanya! Meskipun membawamu bersama, hal ini akan menjauhkanmu, karena hal itu akan mengurangi rasa cinta dan sayang serta perhatian untukmu dalam hatinya. Jika perasaan-perasaaan ini musnah, ikatan itu rusak dan murid itu tidak akan pernah menemukan keselamatan atau kedamaian. Siapa pun yang mengatakan sebaliknya, berarti dia tidak mengetahui baik jalan mau pun dirinya.

Wahai pencari, camkanlah ini, agar hubungan dengan mursyidmu, menjadi seperti yang saya lukiskan: semoga Allah berkehendak. Ketahuilah pula bahwa awal mula jalan ini adalah penyesalan. Kamu harus mencoba, bahkan terhadap musuh-musuhmu, senang denganmu. Lupakanlah kekejaman mereka dan cucurkan air mata untuk waku yang telah kamu habiskan berjuang hanya melawan hawa nafsumu. Jadilah kawan pada pengetahuan: tak seorang pun yang bebas dari kesalahan dan dosa. Membuat perhitungan terbuka atas kesalahan-kesalahan yang telah kamu perbuat demi menunjukkan kepada mursyidmu bahwa kamu sedang menyesal adalah munafik dan berbahaya. Tanda penyesalan yang sebenarnya adalah meninggalkan apa yang telah kamu lakukan itu, dan dari situlah kamu akan waspada, tulus, tekun, dan suci.16


Terlihat bahwa pandangan Ibn ‘Arabi tentang adab salik kepada mursyid tersebut merupakan pengetahuan haqq yang diperoleh langsung dari Allah Ta’ala melalui penyaksian nafs dan qalb Ibn ’Arabi ketika berusia 26 tahun. Penghormatannya yang demikian tinggi kepada mursyid tidak lahir dari ketaklidan buta—terlebih pengabaian ‘otonomi individu’ sebagaimana tersirat dalam ‘penilaian kritis’ diatas. Karenanya, tidaklah mengherankan apabila uraian Ibn ‘Arabi tentang adab kepada mursyid tersebut akan terbaca seperti membenarkan ‘kecurigaan’ berbuah ‘kritik’ ihwal fungsi thariqah dan mursyid sebagaimana tertuang di atas. Permasalahannya, ‘penilaian kritis’ tersebut lahir dari cara berpikir ‘kritis rasional’, yang, bagaimana pun, ada unsur asumsi dan spekulasi dalam penyimpulannya. Ditambah lagi dengan ketiadaan pengalaman menerjuni dan menjalani dunia thariqah untuk mencari mursyid sejati. Karena itu, apabila kita tidak memiliki pengetahuan yang haqq, hanya otak di badan ini yang baru berfungsi, maka milikilah niat yang kuat dan murni untuk mencari Allah Ta‘ala. Saksikan bagaimana dia mengalirkan hidup kita. Wallahu‘alam bishawwab.[]

Catatan-catatan:

1. Miranda Risang Ayu, “Mencari Tuhan”, Basis, nomor 03-04, tahun ke-55, Maret-April 2006, hlm. 31, 34.
2. Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, Bandung: Mizan, April 2005, hlm. 178, 183-184.
3. Muhammad Al-Bagir, Mutiara Nahjul Balaghah: Wacana dan Surat-surat Imam Ali R.A., Bandung: Mizan, cetakan ketiga, 1994, hlm. 130.
4. Michel Chodkiewicz, Konsep Ibn ‘Arabi tentang Kenabian dan Aulia, Sri Gunting: Jakarta, cetakan pertama, Mei 1999, hlm. 150. Untuk penjelasan lebih jauh tentang konsep nabi, rasul dan wali dalam Islam, baca buku ini.
5. Walaupun secara zahir, para wali di jazirah Arab dan India tidak membentuk Dewan Wali seperti di Indonesia, namun secara nafs mereka saling mengenal satu sama lain dan bahkan tak jarang mereka sering bertemu satu sama lain secara nafs. Uraian tentang hal ini bisa dilihat di karya-karya Ibn ‘Arabi yang sangat gamblang memaparkan berbagai pengalaman spiritualnya dan juga pertemuannya dengan para wali sezamannya maupun yang sudah meninggal dunia.
6. Muhammad Al-Baqir, Mutiara Nahjul Balaghah: Wacana dan Surat-surat Imam Ali ra, Bandung: Mizan, cet. 3, 1994, hlm. 35.
7. Dikutip dari Zamzam A.J.T., Jurnal Serambi Suluk 1994, PICTS: Bandung, tidak dipublikasikan.
8. Ulama umat ini terbagi dua. Yang satu dianugerahi Allah ilmu lalu diberikannya kepada orang lain dengan tidak mengharap apa-apa dan tidak diperjualbelikan. Ulama yang seperti ini didoaakan kepadanya oleh burung di udara, ikan di dalam air, hewan di atas bumi dan para malaikat yang menuliskan amal manusia. Dia dibawa ke hadapan Allah pada hari kiamat sebagai seorang tuan yang mulia, sehingga menjadi teman para rasul Tuhan. Yang satu lagi dianugerahi Allah ilmu dalam dunia ini dan kikir memberikannya kepada hamba Allah, mengharap apa-apa dan memperjualbelikan. Ulama yang seperti ini datang pada hari kiamat, mulutnya dikekang dengan kekang api neraka. Di hadapan manusia ramai tampil seorang penyeru, menyerukan: “Inilah si anu anak si anu dianugerahi Allah ilmu di dunia, maka ia kikir memberikannya kepada hamba Allah, dia mengharap apa-apa dan memperjualbelikannya.” Ulama tadi diazabkan sampai selesai manusia lain dihitung amalannya. (Al-Hadis)
9. Nicholson, Reynold A., Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. 2, 1996, hlm. 30.
10. Ibid., hlm. 72.
11. Syaikh Al-Akbar Muhyiddiin Ibn ‘Arabi, Selamat Sampai Tujuan: Panduan Bagi Penempuh Jalan Iman, Serambi: Jakarta, November 2003, hlm. 18
12. Claude Addas, Mencari Belerang Merah: Kisah Hidup Ibn ’Arabi, Serambi: Jakarta, Juli 2004, hlm. 115.
13. Ibid., hlm. 116.
14. Ibid., hlm. 116.
15. Ibid., hlm. 117.
16. Ibn ‘Arabi, Selamat Sampai Tujuan…, hlm. 71-80.
link 1.: dewialessandrapurnamasari.blogsome.com/2008/08/02/mursyid-dan-saliknya-tashawwuf-bukan-tanpa-thariqah/
Link 2 : www.zeinrobbani.co.cc/2010/09/mursyid-thoriqot-qodiriyyah_15.html
ads
Labels: Tasawuf

Thanks for reading Tashawwuf Bukan Tanpa Thariqah. Please share...!

0 Comment for "Tashawwuf Bukan Tanpa Thariqah"

Back To Top